Minggu, 10 Januari 2010

Pengertian Dan Tata Cara Sholat Yang Benar Oleh: DR. Amir Faishol Fath

Shalat adalah ibadah yang terpenting
dan utama dalam Islam. Dalam
deretan rukun Islam Rasulullah saw.
menyebutnya sebagai yang kedua
setelah mengucapkan dua kalimah
syahadat (syahadatain). Rasullah
bersabda, “Islam dibangun atas lima
pilar: bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, menegakkan shalat,
membayar zakat, berhajji ke ka ’bah
baitullah dan puasa di bulan
Ramadlan. ” (HR. Bukhari, No.8 dan
HR. Muslim No.16).
Ketika ditanya Malaikat Jibril
mengenai Islam, Rasullah saw. lagi-
lagi menyebut shalat pada deretan
yang kedua setelah syahadatain (HR.
Muslim, No.8). Orang yang
mengingkari salah satu dari rukun
Islam, otomatis menjadi murtad
(keluar dari Islam). Abu Bakar Ash
Shidiq ra. ketika menjabat sebagai
khalifah setelah Rasullah saw. wafat,
pernah dihebohkan oleh
sekelompok orang yang menolak
zakat. Bagi Abu Bakar mereka telah
murtad, maka wajib diperangi. Para
sahabat bergerak memerangi
mereka. Peristiwa itu terkenal
dengan harbul murtaddin. Ini baru
manolak zakat, apalagi menolak
shalat.
Ketika menyebutkan ciri-ciri orang
yang bertakwa pada awal surah Al-
Baqarah, Allah menerangkan bahwa
menegakkan ibadah shalat adalah
ciri kedua setelah beriman kepada
yang ghaib (Al-Baqarah: 3). Dari
proses bagaimana ibadah shalat ini
disyariatkan –lewat kejadian yang
sangat agung dan kita kenal dengan
peristiwa Isra ’ Mi’raj– Rasulullah
saw. tidak menerima melalui
perantara Malaikat Jibril, melainkan
Allah swt. langsung
mengajarkannya. Dari sini tampak
dengan jelas keagungan ibadah
shalat. Bahwa shalat bukan masalah
ijtihadi (baca: hasil kerangan otak
manusia yang bisa ditambah dan
diklurangi) melainkan masalah
ta ’abbudi (baca: harus diterima apa
adanya dengan penuh keta’atan).
Sekecil apapun yang akan kita
lakukan dalam shalat harus sesuai
dengan apa yang diajarkan Allah
langsung kepada Rasul-Nya, dan
yang diajarkan Rasulullah saw.
kepada kita.
Bila dalam ibadah haji Rasulullah
saw. bersabda, “Ambillah dariku
cara melaksanakan manasik
hajimu ”, maka dalam shalat Rasullah
bersabda, “shalatlah sebagaiman
kamu melihat aku shalat”. Untuk
menjelaskan bagaimana cara
Rasullah saw. melaksanakan shalat,
paling tidak ada dua dimensi yang
bisa diuraikan dalam pembahasan
ini: dimensi ritual dan dimensi
spiritual.
Dimensi Ritual Shalat
Dimensi ritual shalat adalah tata cara
pelaksanaannya, termasuk di
dalamnya berapa rakaat dan kapan
waktu masing-masing shalat
(shubuh, zhuhur, ashar, maghrib,
isya ’) yang harus ditegakkan. Dalam
hal ini tidak ada seorang pun dari
sahabat Rasulullah saw., apa lagi
ulama, yang mencoba-coba
berusaha merevisi atau
menginovasi. Umpamnya yang
empat rakaat dikurangi menjadi tiga,
yang tiga ditambah menjadi lima,
yang dua ditambah menjadi empat
dan lain sebagainya.
Dalam segi waktu pun tidak ada
seorang ulama yang berani
menggeser. Katakanlah waktu shalat
Zhuhur digeser ke waktu dhuha,
waktu shalat Maghrib digeser ke
Ashar dan sebagainya (perhatikan:
An-Nisa’: 103). Artinya shalat
seorang tidak dianggap sah bila
dilakukan sebelum waktunya atau
kurang dari jumlah rakakat yang
telah ditentukan. Dalam konteks ini
tentu tidak bisa beralasan dengan
shalat qashar (memendekkan
jumlah rakaat) atau jama’ taqdim
dan ta’khir (menggabung dua shalat
seperti dzhuhur dengan ashar:
diawalkan atau diakhirkan) karena
masing-masing dari cara ini ada
nashnya (baca: tuntunan dari
Alquran dan sunnah Rasullah saw.;
An-Nisa ’: 101), dan itupun tidak
setiap saat, melainkan hanya pada
waktu-waktu tertentu sesuai dengan
kondisi yang tercantum dalam nash.
Apa yang dibaca dalam shalat juga
tercakup dalam tata cara ini dan
harus mengikuti tuntunan
Rasulullah. Jadi tidak bisa membaca
apa saja seenaknya. Bila Rasullah
memerintahkan agar kita harus
shalat seperti beliau shalat, maka
tidak ada alasan lagi bagi kita untuk
menambah-nambah. Termasuk
dalam hal menambah adalah
membaca terjemahan secara
terang-terangan dalam setiap
bacaan yang dibaca dalam shalat.
Karena sepanjang pengetahuan
penulis tidak ada nash yang
memerintahkan untuk juga
membaca terjemahan bacaan dalam
shalat, melainkan hanya perintah
bahwa kita harus mengikuti Rasullah
secara ta’abbudi dalam melakukan
shalat ini.
Mungkin seorang mengatakan,
benar kita harus mengikuti Rasullah,
tapi bagaimana kalau kita tidak
mengerti apa makna bacaan yang
kita baca dalam shalat? Bukankah itu
justru akan mengurangi nilai ibadah
shalat itu sendiri? Dan kita hadir
dalam shalat menjadi seperti burung
beo, mengucapkan sesuatu tetapi
tidak paham apa yang kita ucapkan?
Untuk mengerti bacaan dalam
shalat, caranya tidak mesti dengan
membaca terjemahannya ketika
shalat, melainkan Anda bisa
melakukannya di luar shalat. Sebab,
tindakan membaca terjemahan
dalam shalat seperti tindakan
seorang pelajar yang menyontek
jawaban dalam ruang ujian. Bila
menyontek, jawaban merusak ujian
pelajar. Membaca terjemahan dalam
shalat juga merusak shalat. Bila si
pelajar beralasan bahwa ia tidak bisa
menjawab kalau tidak nyontek, kita
menjawab Anda salah mengapa
tidak belajar sebelum masuk ke
ruang ujian. Demikian juga bila
seorang beralasan bahwa ia tidak
mengerti kalau tidak membaca
terjemahan dalam shalat, kita jawab,
Anda salah mengapa Anda tidak
belajar memahami bacaan tersebut
di luar shalat. Mengapa Anda harus
dengan mengorbankan shalat, demi
memahami bacaan yang Anda baca
dalam shalat? Wong itu bisa Anda
lakukan di luar shalat.
Pentingnya mengikuti cara Rasullah
bershalat, ternyata bukan hanya bisa
dipahami dari hadits tersebut di atas,
melainkan dalam teks-teks Alquran
sangat nampak dengan jelas. Dari
segi bahasa dan gaya ungkap
Alquran selalu menggunakan
“ aqiimush shalaata” (tegakkankanlah
shalat) atau “yuqiimunash
sahalat” (menegakkan shalat).
Menariknya, ungkapan seperti ini
juga digunakan Rasullah saw. Pada
hadits mengenai pertemuannya
dengan Malaikat Jibril, Rasullah
bersabda: “watuqiimush
shalata“ (HR. Muslim No.8) dan pada
hadits mengenai pilar-pilar Islam
bersabda: “waiqaamish shalati “.
(HR. Bukahri No.8 dan HR. Muslim
No.16)
Apa makna dari aqiimu atau
yuqiimu di sini? Mengapa kok tidak
langsung mengatakan shallu
(bershalatlah) atau yushalluuna
(mereka bershalat)? Para ahli tafsir
bersepakat bahwa dalam kata
aqiimu atau yuqiimuuna
mengandung makna penegasan
bahwa shalat itu harus ditegakkan
secara sempurna: baik secara ritual
dengan memenuhi syarat dan
rukunnya, tanpa sedikitpun
mengurangi atau menambah,
maupun secara spiritual dengan
melakukannya secara khusyuk
seperti Rasulullah saw.
melakukannya dengan penuh
kekhusyukan. Masalah khusyu ’
adalah pembahasan dimensi
spiritual shalat yang akan kita
bicarakan setelah ini.
Dimensi Spiritual Shalat
Mengikuti cara Rasulullah saw. shalat
tidak cukup hanya dengan
menyempurkan dimensi ritulanya
saja, melainkan harus juga diikuti
dengan menyempurnakan dimensi
spritualnya. Ibarat jasad dengan
ruh, memang seorang bisa hidup
bila hanya memenuhi kebutuhan
jasadnya, namun sungguh tidak
sempurna bila ruhnya dibiarkan
meronta-meronta tanpa dipenuhi
kebutuhannya. Demikian juga
shalat, memang secara fikih shalat
Anda sah bila memenuhi syarat dan
ruku ’nya secara ritual, tapi apa
makna shalat Anda bila tidak diikuti
dengan kekhusyukan. Perihal
kekhusyukan ini Alquran telah
menjelaskan, “Dan mohonlah
pertolongan (kepada Allah) dengan
sabar dan shalat, dan
sesungguhnya shalat itu sangat
berat kecuali bagi mereka yang
khusyu. ” (Al-Baqarah: 45)
Imam Ibn Katsir, ketika menafsirkan
ayat ini, menyebutkan pendapat
para ulama salaf mengenai makna
khusyu ’ dalam shalat: Mujahid
mengatakan, itu suatu gambaran
keimanan yang hakiki. Abul Aliyah
menyebut, alkhasyi ’in adalah orang
yang dipenuhi rasa takut kepada
Allah. Muqatil bin
Hayyanperpendapat, alkhasyi ’in itu
orang yang penuh tawadhu’.
Dhahhaq mengatakan, alkhasyi’en
merupakan orang yang benar-benar
tunduk penuh ketaatan dan
ketakutan kepada Allah. (Ibn Katsir,
Tafsirul Qur ’anil azhim, Bairut, Darul
fikr, 1986, vol. 1, h.133)
Dan pada dasarnya shalat –seperti
yang digambarkan Ustadz Sayyid
Quthub – adalah hubungan antara
hamba dan Tuhannya yang dapat
menguatkan hati, membekali
keyakinan untuk menghadapi segala
kenyataan yang harus dilalui.
Rasulullah saw. –kata Sayyid- setiap
kali menghadapi persoalan, selalu
segara melaksanakan shalat. (Sayyid
Quthub, fii zhilalil Qur ’an, Bairut,
Darusy syuruuq, 1985, vol. 1, h. 69)
Dalam hal ini tentu shalat yang
dimaksud bukan sekedar shalat,
melainkan shalat yang benar-benar
ditegakkan secara sempurna:
memenuhi syarat dan rukunnya,
lebih dari itu penuh dengan
kekhusyukan. Karena hanya shalat
yang seperti inilah yang akan benar-
benar memberikan ketenangan
yang hakiki pada ruhani, dan benar-
benar melahirkan sikap moral yang
tinggi, seperti yang dinyatakan
dalam Alquran: “dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar ”. (Al-
Ankabut: 45)
Jelas, bahwa hanya shalat yang
khusyu ’ yang akan membimbing
pelaksananya pada ketenangan dan
kemuliaan perilaku. Oleh sebab itu
para ulama terdahulu selalu
mengajarkan bagimana kita
menegakkan shalat dengan penuh
kekhusyukan. Imam As-
Samarqandi dalam bukunya
tanbihul ghafiliin, menulis bab
khusus dengan judul: Bab
itmamush shalaati wal khusyu’u
fiihaa (Bab menyempurkan dan
khusyuk dalam shalat). Disebutkan
dalam buku ini bahwa orang yang
sembahyang banyak, tetapi orang
yang menegakkan shalat secara
sempurna sedikit. (As Samarqandi,
Tanbihul ghafiliin, Bairut, Darul Kitab
al ’Araby, 2002, h. 293)
Imam As-Samarqandi benar. Kini
kita menyaksikan orang-orang
shalat di mana-mana. Tetapi, berapa
dari mereka yang benar-benar
menikmati buah shalatnya, menjaga
diri dari perbuatan keji, perzinaan,
korupsi dan lain sebagainya yang
termasuk dalam kategori munkar.
Antara Ritual dan Spritual
Ketika Rasulullah saw.
memerintahkan agar kita mengikuti
shalat seperti yang beliau lakukan,
itu maksudnya mengikuti secara
sempurna: ritual dan spiritual. Ritual
artinya menegakkan secara benar
syarat dan rukunnya, spiritual
artinya melaksanakannya dengan
penuh keikhlsan, ketundukan dan
kekhusyukan.
Kedua dimiensi itu adalah satu
kesatuan tak terpisahkan. Satu
dimensi hilang, maka shalat Anda
tidak sempurna. Bila Anda hanya
mengutamakan yang spiritual saja,
dengan mengabaikan yang ritual
(seperti tidak mengkuti cara-cara
shalat Rasulluah secara benar,
menambahkan atau mengurangi,
atau meniggalkannya sema sekali)
itu tidak sah. Dengan bahasa lain,
shalat yang ditambah dengan
menerjemahkan setiap bacaannya
ke dalam bahasa Indonesia, itu
bukan shalat yang dicontohkan
Rasullah. Maka, itu tidak disebut
shalat, apapun alasan dan
tujuannya.
Sebaliknya, bila yang Anda
utamakan hanya yang ritual saja
dengan mengabaikan yang spiritual,
boleh jadi shalat Anda sah secara
fikih. Tetapi, tidak akan membawa
dampak apa-apa pada diri Anda.
Karena yang Anda ambil hanya
gerakan shalatnya saja. Sementara
ruhani shalat itu Anda campakkan
begitu saja. Bahkan bila yang anda
abaikan dari dimensi spiritual shalat
itu adalah keikhlasan, akibatnya fatal.
Shalat Anda menjadi tidak bernilai
apa-apa di sisi-Nya. Na ’udzubillahi
mindzaalika. Wallahu A’lam bish
shawab.

0 komentar:

Posting Komentar